PTA Makassar Ikuti Seminar Nasional Tentang Sejarah Mahkamah Islam Tinggi
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Makassar mengikuti Seminar Nasional Pengadilan Tinggi Agama yang diselenggarakan oleh PTA Semarang bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kamis (23/10/2025). Seminar yang diikuti secara daring di ruang Command Center PTA Makassar ini mengangkat tema "Mahkamah Islam Tinggi (MIT): Membuka Tabir Sejarah Eksistensi Peradilan Agama dalam Reformasi Hukum dan Peradilan di Indonesia".

Seminar nasional ini dibuka secara langsung oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Drs. H. Muchlis, M.H., Kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid ini juga dihadiri secara langsung oleh Ketua PTA Semarang, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Wakil Ketua PTA Makassar, para Hakim Tinggi PTA Semarang, Ketua Pengadilan Agama se-wilayah Semarang, Sekretaris PTA Semarang, serta para Hakim Tinggi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti PTA Makassar yang mengikuti secara daring dari Makassar.

Dalam sambutannya, Ketua PTA Semarang menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program pimpinan terdahulu yang diteruskan. Seminar ini bertujuan untuk merunut jejak panjang sejarah Mahkamah Islam Tinggi, memberikan pencerahan kepada seluruh peserta mengenai lahirnya MIT, serta menghimpun data-data tambahan sehingga dapat melahirkan buku-buku yang mendokumentasikan perjalanan peradilan agama di Indonesia.
PTA Semarang sebagai penyelenggara seminar telah menerbitkan majalah Mediasi sebagai salah satu upaya dokumentasi dan penyebarluasan informasi mengenai peradilan agama. Menurut Ketua PTA Semarang, acara ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak, yang membutuhkan keikhlasan dan kesempatan untuk mewujudkannya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam sambutannya menekankan bahwa keadilan merupakan kata kunci bagi semua pihak dalam mengantarkan masyarakat Indonesia yang bebas dari keterbelakangan. Beliau menyampaikan bahwa di dalam seminar ini akan dirumuskan tentang pentingnya peradilan dan keadilan bagi masyarakat.
"Hukum harus mampu memberikan humanitas, menempatkan manusia sebagai subjek bukan objek," ujar Rektor UMS. Beliau juga menekankan pentingnya memutus perkara dengan adil yang dapat mengantarkan menjadi pribadi yang baik, sholeh/sholeha, termasuk dalam konteks perkembangan teknologi seperti peran Artificial Intelligence (AI) dalam sistem peradilan modern.
Seminar ini menyoroti peran penting Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai cikal bakal sistem peradilan agama modern di Indonesia. Narasumber Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum., yang juga merupakan Ketua Muda Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, memaparkan bagaimana peradilan agama telah hadir dan memainkan perannya dalam tatanan hukum dan sosial kemasyarakatan jauh sebelum republik ini berdiri dan merdeka. Dalam paparannya, dijelaskan bahwa peradilan agama lahir karena kebutuhan umat Islam akan regulasi yang mengatur aspek kehidupan, termasuk di bidang hukum dan agama Islam ke Peradilan Pradota. Proses yang dimulai sejak era Kerajaan Islam Mataram ini kemudian mengalami transformasi signifikan melalui Pengadilan Surambi.
Eksistensi peradilan agama mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Agustus 1882 melalui Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pengadilan Agama. Kewenangan Pengadilan Agama dikebiri oleh Pemerintah Belanda melalui Staatsblad 1937 Nomor 116 dengan memindahkan kewenangan mengadili perkara kewarisan ke Landraad (Pengadilan Negeri). Sikap umat Islam atas kebijakan kolonial ini mencerminkan perjuangan panjang untuk mempertahankan otoritas peradilan Islam. Pemerintah Belanda kemudian menanggapi penolakan tersebut dengan mendirikan Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islamietische zaken) yang berkedudukan di Jakarta tanggal 1 Januari 1938, sebagai upaya untuk melakukan penolakannya.
Mahkamah Islam Tinggi (MIT) Surakarta merupakan pindahan dari MIT yang sebelumnya berkedudukan di Jakarta. Transformasi kelembagaan ini menandai perjalanan panjang peradilan agama menuju sistem yang lebih modern dan terstruktur. Pada tahun 1946, MIT beserta pengadilan yang ada di bawahnya dipindahkan dari Departemen Kehakiman ke Departemen Agama. Tahun 1977 menjadi titik balik penting ketika fungsi MIT dari pengadilan tertinggi bagi upaya hukum atas putusan pengadilan agama berubah hanya menjadi pengadilan tingkat banding, seiring hadirnya Mahkamah Agung sebagai lembaga puncak peradilan. Perubahan nomenklatur dari Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama terjadi pada tahun 1980, menyesuaikan dengan struktur peradilan nasional yang terintegrasi.
Meski memiliki kewenangan terbatas hanya dalam bidang perkawinan, MIT telah berkontribusi mengukuhkan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang berlaku di Indonesia, di samping Hukum Adat dan Hukum Barat. Kontribusi ini menjadi fondasi bagi perkembangan sistem hukum nasional yang mengakomodasi pluralisme hukum.
Fungsi MIT yang didirikan meliputi tiga hal pokok: memperbaiki putusan-putusan Pengadilan Agama yang keliru atau kurang tepat, memutuskan perselisihan kewenangan antar Pengadilan Agama, dan memberi pertimbangan apabila diminta Pemerintah Belanda. MIT Surakarta menjadi pembuka tabir penataan sistem peradilan agama di Indonesia, karena ia merupakan pengadilan tingkat pertama dan cikal bakal lahirnya pengadilan tingkat banding lainnya di seluruh Indonesia.
Seminar juga menghadirkan materi khusus dari Dr. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum., yang membahas tentang "Mahkamah Islam Tinggi (MIT) dalam Dekade 1980-an: Era Bermulanya Peran Dalam Reformasi Hukum dan Peradilan Agama". Dalam paparannya, dijelaskan bahwa pertanyaan yang dapat diambil dari tema seminar adalah apa dan bagaimana peran dan kontribusi MIT dalam pembaharuan hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan ditelusuri dari dinamika kedudukan, tugas pokok (main function), serta sistem dan mekanisme kerja MIT sebagai institusi peradilan terkait dengan kondisi objektif politik dan hukum yang ada, terutama terkait dengan sarana dan prasarana hukum yang tersedia.
Salah satu perkembangan penting dalam dekade 1980-an adalah ketika MIT dan Pengadilan Agama memiliki budaya organisasi yang bersumber dari spirit menjadi aparatur peradilan agama bukan sekedar bekerja, berkhidmah kepada bangsa dan negara tapi berjuang untuk kokohnya kelembagaan yang menjadi tempat berlakunya dan tegaknya hukum Islam. Budaya organisasi ini dimaksud menjadi modal bagi MIT dan Ikatan Hakim Agama Hukum Islam Indonesia (IKAHA) dalam peningkatan kompetensi teknis dan administrasi yudisial bagi Sumber Daya Manusia (SDM) secara mandiri. Melalui berbagai kegiatan sosialisasi teknis dan administrasi yudisial yang dilakukan secara mandiri, MIT dan IKAHA berkontribusi dalam membangun kapasitas kelembagaan peradilan agama.
Peran dan kontribusi MIT dalam pembaharuan hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia bermula ketika MIT dan PA secara yuridis ketatanegaraan efektif menjadi bagian dari sistem peradilan negara di bawah Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pembaruan hukum yang dimaksud meliputi dua aspek penting. Pertama, kelembagaan menjadi sepenuhnya sebagai "court of law" atau pengadilan yang sesungguhnya. Kedua, secara fungsional telah dilengkapi dengan sarana hukum terkait dengan kompetensi absolutnya serta sistem dan mekanisme penyelenggaraan peradilan yang lebih memberikan kepastian hukum.
Transformasi ini menandai babak baru dalam sejarah peradilan agama di Indonesia, di mana lembaga peradilan agama tidak lagi berada di pinggiran sistem hukum nasional, tetapi menjadi bagian integral yang diakui secara konstitusional dan memiliki kewenangan yang jelas dalam sistem peradilan nasional. Dalam materi refleksi yang disampaikan, terdapat tiga poin penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, penguatan identitas historis peradilan agama sebagai bagian integral dalam pembangunan hukum Indonesia. Kedua, pembaruan berbasis nilai dan teknologi untuk menjawab tantangan zaman dengan digitalisasi pelayanan, transparansi proses peradilan, dan keberpihakan pada keadilan substantif. Ketiga, sinergitas lintas lembaga dan mazhab pemikiran untuk membangun sistem hukum yang inklusif, menghormati kolaborasi dan integrasi yang perlu terus dibangun.
Dalam seminar ini juga dipaparkan bagaimana perspektif berbeda antara pemerintah kolonial Belanda dan umat Islam terhadap kehadiran MIT. Dari sudut pandang Belanda, MIT berfungsi sebagai tempat mengajukan upaya hukum akibat banyaknya pencari keadilan tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama, yang saat itu dipicu oleh pengangkatan Qadhi yang kurang kompeten oleh pemerintah kolonial. Belanda juga memandang MIT sebagai peredam kemarahan umat Islam karena dihapuskannya kewenangan Pengadilan Agama yang menyangkut harta benda (kewarisan dan wakaf) serta eksekusi putusan. Namun, ditetapkannya MIT sebagai pengakuan hal yang sudah dan semestinya ada juga menjadi penetapan kewenangan Pengadilan Agama yang lebih terbatas.
Sementara dari perspektif umat Islam, kehadiran MIT mengikuti Sunnah Nabi dan tradisi sistem peradilan pada masa Kesultanan. Hal ini merujuk pada riwayat Imam Ali bin Abi Thalib yang pernah dilapori suatu masalah di Yaman, di mana beliau memutuskan perkara dengan melibatkan berbagai tingkatan penghulu, mulai dari Qadhi Agung hingga kepada Penglima Sagi, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Mahkamah Agung pada masa Rasulullah.
Narasumber juga menjelaskan ciri khas kerajaan Islam di Nusantara yang memiliki beberapa karakteristik khusus. Di antaranya adalah adanya jabatan penghulu dan abdi dalam ngulama dalam birokrasi kerajaan, peradilan surambi yang didasarkan pada hukum atau ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama oleh sultan (sunan), dan keberadaan masjid agung di lingkungan kraton.
Struktur kepenghuluan dalam kesultanan terdiri dari Penghulu Ageng (Qadhi Agung) di tingkat pusat menuju Qadhi, Penghulu Seda di tingkat Kabupaten menuju Qadhi, Penghulu Naib di tingkat Kecamatan yang bukan Qadhi, serta Kayim Lebai, Modim, Amil, dan Marbot di tingkat Desa yang juga bukan Qadhi. Khusus untuk wilayah Aceh pada masa Kesultanan Samudra Pasai, sistem peradilan memiliki kekhususan tersendiri. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keucik. Pengadilan ini hanya menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara yang berat diselengggarakan oleh Balai Hukum Mukim. Apabila pihak berperkara tidak merasa puas atas putusan pengadilan tingkat pertama, dapat mengajukan banding kepada uleebalang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat diajukan banding kepada Penglima Sagi. Bahkan selanjutnya masih dapat diajukan kasasi kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (Ulama). Sementara di Kerajaan Demak, terdapat empat jenis peradilan, yaitu Peradilan Pradota yang dipimpin Raja yang menangani perkara besar atau yang berkaitan dengan kepentingan kerajaan, Peradilan Balemangu yang dipimpin Patih atau pejabat tinggi lain menangani perkara yang tidak ditangani raja, Peradilan Surambi yang dipimpin oleh penghulu atau ulama menangani masalah keagamaan, dan Jaksa Duri Adipati yang membantu pelaksanaan Peradilan.
Transformasi MIT menjadi Pengadilan Banding merupakan perjalanan panjang yang mencerminkan dampak penjajahan terhadap eksistensi peradilan agama. Pada masa kesultanan, politik hukum kolonial Belanda kemudian mengubah kondisi peradilan agama secara signifikan. Mahkamah Islam Tinggi (MIT) bertransformasi menjadi Pengadilan Banding berdasarkan SEMA Nomor MA/Pemb/0092/1977 dan PERMA Nomor 1 Tahun 1977 tentang Hukum Acara Dalam Pemerintahan Kaidah Untuk Perkara Perdata dan Perkara Oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.
Dalam perspektif H. Zaini Ahmad Noeh (Kepala Biro Peradilan Agama tahun 1969-1970), kehadiran Mahkamah Islam Tinggi dimaksudkan sebagai Pengadilan Tertinggi, seperti Mahkamah Agung, walaupun dalam bentuk dua tingkat. Zaini menyatakan bahwa alur pikir pada saat itu (saat kehadiran Mahkamah Islam Tinggi) adalah ingin menyamakan Mahkamah Islam Tinggi dan Mahkamah Agung.
Zaini juga memberikan komentar penting terkait putusan Pengadilan Agama tentang waris, yang ongkos perkaranya sama dengan gajinya. Menurut Zaini, Residen Belanda merasa bahwa putusan Pengadilan Agama tentang waris itu sepertinya iri dengan Pengadilan Agama dalam kaitan dengan biaya perkara waris. Pandangan ini dihapus oleh realita bahwa seluruh perkara yang ada hubungannya dengan harta dari kewenangan Pengadilan Agama, dan dialihkan menjadi kewenangan Landraad.
Seminar juga menghadirkan Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mantan Ketua/Anggota Komisi Yudisial RI periode 2015-2020, yang memaparkan tentang "Dinamika Peradilan Agama di Indonesia". Dalam paparannya, Prof. Aidul menjelaskan pentingnya landasan konstitusional bagi eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang kuat bagi eksistensi Peradilan Agama, menunjukkan pergeseran sosial dan politik yang akomodatif terhadap Peradilan Agama sebagai bagian integral dari sistem peradilan nasional.
Perkembangan konstitusional Peradilan Agama menunjukkan tiga momentum penting. Pertama, Amandemen UUD 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang kuat bagi eksistensi Peradilan Agama, menunjukkan pergeseran sosial dan politik yang akomodatif terhadap Peradilan Agama. Kedua, terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2006 menandai akomodasi terhadap Syariah Islam di Aceh serta terintegrasi Peradilan Agama ke dalam sektor ekonomi modern. Undang-undang ini menggeser basis sosial-ekonomi hukum Islam dari tradisional agraris ke arah industrial modern, membuka ruang bagi Peradilan Agama untuk menghadapi tantangan perkembangan ekonomi kontemporer. Ketiga, terbitnya UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang penguatan pengawasan terhadap hakim di Peradilan Agama. Regulasi ini memastikan bahwa hakim Peradilan Agama memiliki akuntabilitas yang setara dengan hakim di lingkungan peradilan lainnya, sekaligus memperkuat independensi dan profesionalisme lembaga peradilan agama.
Dengan berbagai perkembangan konstitusional dan regulasi tersebut, Peradilan Agama di Indonesia kini memiliki posisi yang kokoh dalam sistem hukum nasional. Transformasi dari lembaga yang berada di pinggiran menjadi bagian integral sistem peradilan menunjukkan pengakuan negara terhadap pluralisme hukum dan pentingnya mengakomodasi nilai-nilai keagamaan dalam penyelenggaraan sistem peradilan.
Ke depan, Peradilan Agama diharapkan terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tidak hanya dalam aspek hukum materiil tetapi juga dalam peningkatan kualitas pelayanan, modernisasi administrasi, dan penguatan kompetensi sumber daya manusia untuk menghadapi kompleksitas permasalahan hukum kontemporer.
Sebagai bagian dari seminar, dilaksanakan pula bedah buku berjudul "Peran dan Kontribusi MITS Dalam Pembaharuan Hukum Islam dan Peradilan Agama" yang ditulis oleh Muhammad Amin Suma, Profesor Emeritus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam bedah buku tersebut, Prof. Amin Suma menyampaikan bahwa secara umum dan keseluruhan, buku ini patut diberikan penghargaan sebesar dan setinggi atau bahkan seagung mungkin. Salah satu wujudnya adalah dengan menyebarluaskan buku ini kepada komunitas hukum/qiudhaat serta hukamaa' dan muftuun, di samping masyarakat luas umumnya dan insan-insan perguruan tinggi pada khususnya.
Buku ini menjadi referensi penting yang mendokumentasikan perjalanan panjang MIT dalam berkontribusi terhadap pembaharuan hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Melalui buku ini, generasi sekarang dan masa depan dapat memahami dinamika, tantangan, dan pencapaian yang telah dilalui oleh institusi peradilan agama dalam mengukuhkan posisinya sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Seminar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam kepada jajaran PTA Makassar tentang akar sejarah dan transformasi peradilan agama, sekaligus menjadi inspirasi dalam menjalankan tugas mulia menegakkan keadilan berdasarkan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengadilan Agama sebagai salah satu institusi penegak hukum Islam di Indonesia terus bertransformasi dari Pengadilan Surambi menjadi pengadilan modern berkelas dunia, dengan tetap menjaga nilai-nilai substansial keadilan dan pelayanan kepada pencari keadilan.
